Tokoh Budaya Kekokohan Tradisi Lampung di Tengah Generasi Muda

Lampung Geh, Bandar Lampung – Menurunnya minat kalangan muda terhadap seni, bahasa, serta kearifan lokal menjadi perhatian para tokoh budaya dan seniman Lampung.

Keadaan ini dianggap sebagai ancaman besar terhadap kelangsungan identitas budaya lokal, terutama dalam situasi yang dihadapi oleh arus globalisasi dan perkembangan budaya populer.

Isu ini muncul dalam diskusi publik dengan tema "Budaya Daerah Sebagai Identitas Nasional" yang diadakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Emersia Hotel, pada Senin (11/8).

Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai tokoh budaya, ilmuwan, serta aktivis seni Lampung.

Tokoh Budaya Lampung, Anshori Djausal mengatakan, penguatan budaya tidak hanya terbatas pada pelestarian warisan masa lalu, tetapi juga harus berupaya dalam pengembangan dan pemanfaatan agar tetap sesuai dengan perubahan jaman.

"Ketika anak-anak kita berkomunikasi dengan negara lain, mereka perlu memiliki identitas yang jelas. Budaya bukan hanya warisan, tetapi modal untuk tampil percaya diri dalam dunia internasional. Kita harus berani berinovasi tanpa meninggalkan akar tradisi," katanya.

Ia menjelaskan bahwa secara nasional, pemajuan kebudayaan terdiri dari empat pilar utama, yaitu perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan.

Di tengah kondisi Lampung, tantangan muncul akibat kurangnya pemahaman sebagian kalangan pemuda terhadap seni dan kearifan lokal.

Anshori menambahkan, banyak pemuda saat ini menganggap budaya sebagai hal yang usang sehingga ketertarikan untuk mempelajari dan menjaga warisan tersebut semakin menurun.

Meskipun demikian, budaya Lampung terdiri dari 10 unsur utama, antara lain adat istiadat, bahasa lokal, naskah kuno, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, permainan rakyat, situs budaya, seni, teknologi tradisional, serta tradisi lisan.

"Jika unsur-unsur ini dikelola dengan baik, maka tidak hanya akan menjaga budaya, tetapi juga dapat menjadi daya tarik pariwisata, membuka peluang kerja sama internasional, serta memperkuat pembangunan wilayah," ujar Anshori.

Tokoh budaya Lampung lainnya, Mawardi Harirama, menyoroti perubahan makna yang terjadi dalam pemakaian pakaian adat.

"Jaman dulu tidak ada laki-laki yang memakai tapis, tetapi kini banyak laki-laki yang menggunakannya. Secara ekonomi mungkin berkembang, namun kemampuan jiwa kita yang memiliki budaya justru menurun," katanya.

Di sisi lain, Ketua Dewan Kesenian Lampung, Satria Bangsawan menambahkan, salah satu hambatan terbesar dalam melestarikan budaya adalah penurunan penggunaan bahasa Lampung dalam kehidupan sehari-hari.

Ia menekankan bahwa Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2002 mengenai pelestarian bahasa Lampung harus diterapkan secara konsisten.

"Kami melakukan pengawasan agar perda ini dapat berjalan dengan baik. Sosialisasi perlu dilakukan kepada berbagai instansi, objek wisata, hotel, rumah makan, hingga toko oleh-oleh agar mulai menggunakan bahasa dan musik Lampung," katanya.

Satria juga mendorong diadakannya Hari Bahasa Lampung di sekolah maupun universitas.

"Jika saya mengajar dalam bahasa Inggris, saya mulai terlebih dahulu dengan bahasa Lampung. Kebiasaan ini perlu dimulai dari puncak, agar semua dapat bergerak," katanya.

Dalam pembicaraan tersebut, muncul pula usulan agar pelaksanaan pemilu di Lampung menggunakan bahasa Lampung, bukan bahasa Indonesia, sebagai salah satu langkah untuk membangkitkan kembali penggunaan bahasa daerah di ruang publik.

Tindakan ini dianggap sebagai simbol kebanggaan sekaligus wujud nyata dari pelestarian identitas lokal. (Cha/Put)

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال